Dari Pelayanan Standar Menuju Pelayanan Prima
Sekejap saya jadi teringat dengan judul
skripsi saya 5 tahun lalu mengenai service excellence atau pelayanan
prima. Bicara ‘excellence’ dulunya saya masih beranggapan kalau memberi
pelayanan lebih itu adalah salah satu bentuk kepuasan yang diinginkan
oleh konsumen. Misalnya, beli satu gratis satu. Pasti konsumen yang beli
produk tersebut akan puas sekali. Pada dasarnya, konsumen adalah bentuk
yang sulit untuk dipertahankan. Alih saja dengan bentuk promo yang
lebih menarik dia akan langsung pindah.
Lantas bentuk pelayanan yang seperti apa yang diinginkan sama konsumen?
Kalau dari gambar di atas, mana wanita
yang baru saja mendapatkan “service excellence”? Sepakat kalau gambar
wanita nomor 1 lah yang baru saja mendapatkan pelayanan lebih dengan
menunjukkan ekspresi wajah seperti berkata “WOW”. Gambar wanita nomor 2,
dia mendapatkan pelayanan yang wajar. Sisanya nomor 3 adalah
menunjukkan kalau dia tidak puas dengan pelayanan yang dia terima.
Service excellence secara
sederhana didefinisikan sebagai pelayanan yang sedikit lebih tinggi dari
harapannya. Problem yang diketemukan adalah harapan tiap konsumen itu
berbeda-beda. Jelas toh, harapan saya tentu akan beda dengan Anda
terhadap suatu produk. Misal, dalam hal antri di suatu bank ke meja
tellernya setidaknya perlu waktu 30 sampai 1 jam untuk bisa menjangkau
meja teller tersebut, dalam kasus bank yang memang banyak jumlah
antriannya. Saya yang sedari awal sudah paham kalau ke Bank Capek Antri
pasti sudah sediain waktu sekitar 1 jam untuk antri ke teller sambil
memperlengkapi gadget untuk menemani saya. Tapi waktu saya pergi
mengantri ke bank lainnya, saya sudah punya pemikiran kalau bank ini
antriannya kalau lebih dari 30 menit berarti lama pelayanannya buruk.
Terbukti kalau harapan saya kok bisa beda dengan Bank Capek Antri sama
bank lainnya?
Ada tiga tingkatan pelayanan yang saya ketahui :
1. Buruk. Berarti saya tidak mendapat
kepuasan dalam pelayanan. Hal ini bisa diakibatkan karena harapan saya
tinggi. Ambil contoh, saya membayar sewa kamar hotel kelas 200 ribu tapi
saya berharap mendapat kualitas seperti harga kamar 500 ribu per malam.
2. Standar. Berarti saya mendapat
kepuasan dalam pelayanan. Hal ini bisa diakibatkan karena harapan saya
sama dengan apa yang saya dapatkan. Contoh, saya sewa kamar hotel kelas
200 ribu dan dengan harga sewa seperti itu setidaknya saya dapat kasur
yang empuk dan ada air hangat.
3. Baik. Berarti saya mendapat kepuasan
yang lebih dari pelayanan. Hal ini bisa dikarenakan harapan saya atur
tidak terlalu tinggi. Misal dengan harga sewa kamar 200 ribu dan saya
pikir tidak masalah kok kalau tidak ada tv kabel, tapi tiba-tiba si
resepsionis menawarkan apa mau pakai fasilitas wifi? WOW!
Menuju service excellence, kunci
yang tepat adalah kita jalankan dahulu pelayanan (service) standar
seperti memenuhi apa yang telah kita janjikan ke konsumen, lama layanan
yang kita berikan, serta penangganan komplain yang timbul.
Standar Pelayanan vs Standar Komunikasi
Kerap saya menjumpai penjual yang
mengutamakan standar komunikasi, paling sederhananya adalah senyum dan
menyodorkan minuman. Sekarang saya mau tanya dulu, apakah kita datang ke
suatu toko hanya untuk membeli senyum? Saya ingin memperbaiki televisi,
waktu saya datang ke service center dijanjikan kalau televisinya akan
selesai dalam waktu 3 hari. Tepat 3 hari kemudian, saya datang dan
menagih janji dari customer servicenya. Alangkah kecewanya saya waktu
saya datang ternyata CSO hanya senyum dan bilang “Wah maaf pak,
televisinya masih belum bisa diperbaiki…” sambil menyodorkan saya
secangkir kopi. Lalu dijanjikan kembali untuk datang 3 hari lagi. Pulang
dengan kecewa dan datang kembali ternyata si CSO juga ekspresinya sama!
Senyum dan sambil bilang kali ini onderdilnya mau dipesan dulu.
Bukan seperti contoh kasus diatas. Namun
standar pelayanan adalah janji yang dapat kita penuhi. Lihat saja plang
baliho yang tercantum di rumah sakit bersalin. Dituliskan melayani
melahirkan, melayani USG, melayani baby spa. Nah, berarti itulah yang
menjadi standar pelayanan. Seharusnya tempat makan juga sama, waktu kita
mau memesan suatu menu makan dan si pelayan hanya bilang barangnya
habis, coba kalau dia bisa menawarkan alternatif makanan lain. Ini sudah
termasuk dalam standar pelayanan dalam menangani keluhan.
Barulah terakhir, standar komunikasinya
dijalankan. Kita tentu tidak mau datang ke suatu toko yang penjualnya
sedang tidak mood? menampilkan sosok wajah yang menyeramkan. Pada saat
kita tanya dia cuma jawab, “Gak ada barangnya!”, “Cuma ada itu aja!”
Standar komunikasi bisa dijabarkan untuk standar menangani komplain
apabila di masa mendatang ada konsumen yang merasa belum puas.
Pastikan kalau standar pelayanan dan komunikasi ini berjalan kapanpun, dimanapun, dan oleh siapapun.
Apabila sudah berjalan barulah bisa masuk
ke service excellence. Sebelumnya service excellence ini dikatakan
sebagai bentuk pelayanan yang sedikit lebih tinggi dari harapan
konsumen. Dan sifat pelayanan ini tidak bisa diberikan ke semua
konsumen, maka dari itu kita harus bisa memilih konsumen yang tepat
untuk mendapatkan ‘pelayanan lebih’ dari kita.
Tiga aspek dalam pemilihan untuk mencapai service excellence :
1. Konsumen yang tepat. Pastinya konsumen
yang dipilih ini adalah konsumen yang memang kita rasa layak untuk
mendapatkan lebih dari konsumen yang lain. Ambil contoh di dunia
perbankan, seorang nasabah yang menginvestasikan uangnya setiap bulannya
sampai beratus juta sampai milyar tentu perlakuannya beda dengan
nasabah seperti saya yang kadang-kadang ada tabung ke bank, justru lebih
banyakan cepat habisnya. Saya tentu tidak bisa meminta ke pihak bank
untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun berupa kiriman kue tart
seperti nasabah yang tiap bulannya rutin menginvestasikan uangnya sampai
ratusan juta.
2. Waktu yang tepat. Carilah waktu yang
tepat untuk memberikan pelayanan lebih ini, bisa saja dihari ulang tahun
atau hari perayaan tertentu.
3. Budget yang tepat. Berhubung pelayanan ini bersifaat cost, tentu kita juga harus jeli membidik konsumen yang potensial. Jangan sampai sudah mengeluarkan biaya ternyata tidak mendapat feedback yang diharapkan.
Sepertinya mudah untuk melakukan service
excellence ini, tapi pada saat di lapangan ternyata sulitnya minta
ampun. Kenapa? Standar pelayanan dan komunikasinya belum jalan. Aspek
lain dari SDM yang menjalankannya tidak punya niat dalam pelayanan. Jika
ada SDM kita yang tidak mendukung dalam hal pelayanan, saran saya
segera mungkin disingkirkan saja kalau setelah diberitahu dia tetap
tidak mau menjalankan. Lebih baik membuang 500 orang daripada nantinya
2000 orang lainnya akan ikut menderita.
Menjalankan service excellence
jangan dilakukan terlalu sering, hal ini akan menjadi tidak ekslusif.
Ancamannya akan menjadi pelayanan standar. Dulu, pelayanan seperti
membuka pintu dengan satpam di depan menjadi suatu pelayanan yang wow,
tapi lambat tahun pelayanan yang seperti itu menjadi pelayanan standar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar